Masjid Istiqlal bukan sekadar bangunan megah yang berdiri kokoh di jantung Daerah Khusus Jakarta. Bagi saya, Joko Prayitno atau akrab disapa Joko Dolok, masjid ini adalah bagian dari perjalanan hidup yang menghubungkan tiga generasi kami—kakek, bapak, dan saya sendiri.
Kembali ke Istiqlal : Merayakan Milad ke-39
Pagi itu pada medio Februari 2017, saya berdiri di pelataran masjid Istiqlal mengenakan kaos relawan dan membawa kamera di tangan. Sebagai fotografer di media siber Garuda News, saya bergabung dalam aksi sosial membersihkan Istiqlal, yang merupakan bagian dari perayaan Milad ke-39 masjid kebanggaan Indonesia ini. Bersama puluhan relawan lain–dari berbagai elemen masyarakat dan kelompok pecinta alam– saya naik turun ratusan anak tangga, menyapu lantai, serta mengabadikan setiap momen penuh kebersamaan,

Namun bagi saya, kegiatan ini lebih dari sekadar aksi sosial. Setiap langkah yang saya tapaki di masjid ini seperti membawa saya menulusuri jejak sejarah keluarga–jejak yang dimulai puluhan tahun lalu oleh kakek dan bapak saya.
Kakek dan Bapak : Keringat Mereka di Batu Bata Istiqlal
Saya lahir di Jakarta pada 28 Januari 1968. Ketika saya masih balita berusia satu tahun, ibu bercerita bahwa bapak dan kakek bekerja sebagai kuli bangunan di Istiqlal pada tahun 1969. Saat itu proyek pembangunan masjid masih berjalan, dan keduanya ikut serta dalam prosesnya.

Sayangnya, bapak tidak bertahan lama. Sebuah kecelakaan kerja menimpa rekan sekerjanya hingga membuatnya memilih mundur. Tapi kakek tetap bertahan. Selama dua tahun berikutnya, tangannya ikut meletakkan batu bata yang kini menjadi bagian dari masjid terbesar di Asia Tenggara ini.
Tahun 1976 ketika saya berumur delapan tahun, Istiqlal hampir rampung. Saya ingat bapak sering bercerita tentang bagaimana kakek menghabiskan hari-harinya di proyek besar ini. Saat itu saya hanya bisa membayangkan betapa megahnya bangunan yang mereka kerjakan.
Kembali ke Jejak Keluarga: Mengabadikan Sejarah
Kini, hampir setengah abad setelah kakek dan bapak saya berkeringat di sini, saya berdiri di tempat yang sama. Bukan sebagai kuli bangunan, tetapi sebagai fotografer yang mendokumentasikan setiap sudut keindahan masjid ini. Saya memegang kamera naik turun menara dan merasakan kebanggaan yang dulu dirasakan oleh kakek dan bapak saya.

Saat matahari mulai turun, saya duduk di salah satu sudut masjid, menatap ke langit-langit megahnya. Saya membayangkan kakek dan bapak–dulu mungkin berdiri di tempat yang sama–dengan wajah lelah tetapi penuh harapan. Dan kini saya di sini melanjutkan kisah mereka dengan cara saya sendiri.

Masjid Istiqlal bukan hanya tentang kemegahan arsitektur atau simbol kebanggaan bangsa. Bagi saya, ia adalah “warisan keluarga–jejak tiga generasi yang pernah menjadi bagian dari sejarahnya.
Dan hari itu di tengah lantai yang mulai bersih disertai iringan kumandang azan yang merdu, saya tahu bahwa cinta kelaurga kami terhadap Istiqlal akan selalu hidup, melewati waktu dan generasi berikutnya.
Joko Prayitno