Pernah Dikira “Kunti” Karena Pulang Larut Malam Dari Kampus

Kok bisa dikira “kunti” ? Iya karena aku jadi penumpang satu-satunya yang tidak turun-turun ketika pulang larut malam sepulang kuliah.

Aku si perempuan mungil, berkerudung, dan  sendirian pula. Aku naik dari Grogol dan turun di tempat terakhir rute omprengan, di jalan  Ki Samaun, Tangerang.

Ini ceritanya…

Rumah kami di Cimone-Tangerang, aku kuliah di Lenteng Agung-Jakarta Selatan dan tidak kost. Kebayangkan jauhnya. Saat itu aku baru melintasi dua provinsi saja, Lenteng Agung yang di DKI Jakarta dan Cimone-Tangerang di provinsi Jawa Barat. Belum ada provinsi Banten. Tangerang masuk Provinsi Banten sejak tahun 2000 bersamaan dengan berdirinya Provinsi Banten itu sendiri. Jauhnya jarak rumah dengan kampus seringkali membuatku pulang larut malam.

Bahkan pernah karena tidak ada lagi bus Patas yang menuju Cimone dari Terminal Grogol, terpaksa aku naik  omprengan.

Whatsapp Image 2024 09 18 At 16.40.24
foto : Google

Omprengan ini kendaraan umum yang trayeknya “tidak resmi”. Biasanya juga berupa mobil pribadi yang didayagunakan. Walaupun tidak resmi, omprengan ini sebenarnya menjadi penyelamat bagi orang-orang yang terpaksa pulang larut malam, sementara angkutan resmi tidak beroperasi 24 jam.

Penumpang omprengan dimalam hari kebanyakan para pegawai toko atau barko (bubar toko). Di awal naik, penumpang omprengan yang aku naiki terisi penuh. Makin menuju Tangerang penumpang pun berkurang satu-satu. Hingga akhirnya tinggalah aku satu-satunya penumpang.

Dari tempat aku duduk dengan mata yang memicing, aku melihat kegelisahan kondektur dan supir di depan. Tadinya kondektur duduk di bagian penumpang, karena tidak ada lagi penumpang selain aku, kondektur itu pun pindah ke depan di samping supir.

Mereka mungkin heran, aku kok tidak turun-turun. Sementara aku sendiri terus komat-kamit merapal doa sepanjang perjalanan. Zikir dan semua surat pendek yang aku hapal terus aku baca.

Terus terang aku juga takut sendirian sebagai penumpang di omprengan tersebut.  Pikiranku sudah kemana-mana membayangkan hal-hal buruk. Tapi dengan Bismillaah dan yakin aku dalam perlindunganNya, aku berusaha tenang meski dalam hati kebat-kebit juga.

Sempat juga terbersit jika sampai  terjadi hal-hal buruk, aku siap melawan sekuat-kuatnya. Payung yang selalu ada dalam tas ku bisa digunakan jadi senjata jika kepepet.

Aku juga membesarkan hatiku sendiri. “Jangan takut Tik, kamu kan dari kecil sudah ikut bela diri Jiu Jitsu dan kuliah ini pun kamu   ikut silat Merpati Putih di kampus.  Jadi jangan takut”. Kalimat afirmasi untuk diriku sendiri ini efektif membuatku tenang selama dalam perjalanan.

Biasanya jika naik bus Patas aku pasti tertidur di perjalanan. Tapi karena ini naik omprengan, aku tidak bisa tidur. Posisi dudukku memang sengaja seperti orang yang tidur, agar tidak ada yang mengajak ngobrol.  Dan ketika aku duduk tegak (pegel juga pura-pura tidur) lalu melayangkan pandangan ke jendela. Tiba-tiba kondektur menghadap ke belakang dan dengan takut-takut dia bertanya, “Teteh mau turun di mana?”

Alih-alih menjawab, aku malah balik bertanya, “Oohh…ini paling akhirnya berhenti di mana Mang?”

“Di Pos, Ki Samaun teh,” jawab Mamang Kondektur.

“Nah… Aku turun di Pos mang,” jawabku lugas.

Rupanya Mang Kondektur dan Pak Supir sebenarnya sejak tadi mau menegurku tapi mereka takut. Karena aku diam saja, duduk terpekur seperti orang tidur. Terbersit juga dalam pikiran mereka kalau aku ini “kunti” atau sejenisnya, sehingga  mereka tidak berani mengusikku.

Makanya ketika dilihat aku duduk tegak dan mataku mulai melihat-lihat ke luar jendela, mereka memberanikan diri bertanya.

Aku pun tertawa (untung bukan ketawa “kunti”) ketika mereka menyangka aku “kunti”.

 “Ya ampun Mang, coba lihat kakiku nggak melayang kan,” selorohku sambil terpingkal. Lagipula mana ada “kunti” memakai kacamata. Rambutnya juga tidak terurai karena berkerudung. Ada-ada saja ya.

Ternyata kami ini sama-sama takutnya dengan prasangka masing-masing. Aku takut dijahatin sementara mereka takut aku ini “kunti”.

Lalu tiba lah jua kami di perhentian terakhir, akupun turun.

“Sudah sampai teh ini di Pos,” Mang Kondektur mengingatkanku.

“Terima kasih Mang, jangan takut ya, ini lihat aku nginjek tanah kok,” candaku sambal ku hentakkan kaki di aspal. Kami tertawa bersama.

Sungguh pengalaman yang tak akan ku lupakan.

Titik Mustikayani

Leave a Comment