Tidak terasa sudah 37 tahun aku meninggalkan Kampus Tercinta Institut Ilmu Sosial dan Politik (IISIP Lenteng Agung 32. Waktu yang panjang tersebut ternyata sudah merubah wajah kampus IISIP, tidak seperti yang aku kenal dulu. Kampus IISIP sekarang bagiku seperti sebuah “Kenangan yang Hilang”.


Tahun 1992 adalah masa akhir aku menginjak IISIP untuk kuliah. Ya, September 1992 aku wisuda. Artinya, 32 tahun sudah aku ke luar dari Kampus Tercinta — perguruan tinggi yang punya moto ‘kata chakti’. Tapi jika menghitung tahun masuk, yakni 1987, berarti sudah 37 tahun mengenal Kampus Tercinta, teman dan sahabat masa kuliah.
Tidak terasa, memang. Suka duka pertemanan kami lalui bersama. Tapi jika dipikir, lebih banyak sukanya sih kuliah di Kampus Tercinta ini. Ketimbang serius, mereka malah lebih banyak banyolnya, sehingga menjalani perkuliahan pun terasa lebih nyaman. Bahkan, di kampus ini tidak ada senioritas, tanpa sekat, nge-blend dengan sendirinya. Saking cairnya, terkadang kita tidak tau apakah teman kuliah kita itu kakak tingkat angkatan atau adik tingkat angkatan.


Masa-masa perkuliahan yang happy terkadang membuatku tersenyum-senyum sendiri. Bagaimana tidak, dari awal masuk menjadi MABA hingga lulus semuanya masih terpatri dalam ingatan. Apalagi, menjelang reuni 37 tahun pada Juli 2024. Cerita-cerita konyol, lucu, horror, romantis, bahkan dramatis memenuhi chat WAG 87 Official 24 jam non stop (saingannya Warung Madura). Membuatku serasa kembali ke tahun 1987.
Tahun 1987 Menjadi MABA
Sebagai MABA (Mahasiswa Baru) yang harus diingat pertama adalah NRP (ngomong-ngomong ada yang tau ga kepanjangan NRP?). Aku ingat betul almarhum Pak Ghazi, dosen Ilmu Budaya Dasar, menekankan agar kita harus hapal NRP.
“Kalian harus hapal NRP kalian. Bahkan ketika kalian tidur, lalu dibangunkan dan langsung ditanya NRP, kalian bisa jawab” ujar dosen bertubuh subur dengan suaranya yang menggelegar. Aku pun langsung hapal NRP ku: 876677. Jangankan NRP yang cuma 6 digit, NIK aku yang 16 digit aja aku hapal . Selain NRP, sebagai MABA kita juga harus hapal gedung-gedung di kampus berikut letaknya, agar tidak nyasar.


Mengenal Gedung-Gedung di Kampus
Gedung pertama yang kita temui begitu masuk dari gerbang utama adalah gedung BAAK. Gedung semua urusan administrasi perkuliahan ada di sini. Jika kampus lain ada Bank Mandiri atau Bank BNI atau Bank BCA, maka kampus kita punya Bang Nas, iya Bang Nasution. Urusan bayaran kuliah, tunggakan dan cicilan kuliah menjadi urusannya Bang Nas di gedung ini.


Ruang rektor dan ruang dosen pun ada di gedung BAAK. Bahkan, ruang kuliah matkul komputer juga ada di gedung ini, di lantai 2.
Oh iya kontur tanah kampus kita itu seperti di puncak, ada lereng, ada lembah. Konturnya berundak-undak. Tidak heran jika mahasiswa dan dosen sehat-sehat karena setiap menuju gedung yang satu dengan gedung lainnya itu pasti harus berjalan kaki dan naik turun tangga. Tidak ada lift dalam kamus kita saat itu.
Nah, lanjut lagi setelah kantornya Bang Nas, eh BAAK, turun sedikit ketemulah gedung II-2. Gedung ini untuk perkuliahan umum, tempat wisuda dan juga untuk ujian. Saking luasnya, aku pernah membawa sahabatku yang mahasiswi Unpad ikut kuliah. Iya di gedung II-2 ini. Sahabatku takjub, bisa-bisanya mahasiswa luar ikut kuliah tanpa ketahuan.

Sisi terfavorit gedung II-2 adalah dinding bata. Tempat senda gurau kita semua. Tempat terbaik juga untuk melihat gebetan lewat. Spot foto terfavorit itu sudah pasti.
Di ujung gedung II-2 atau bagian belakang ada toilet dan mushola laki-laki. Nyebrang sedikit kita ketemu kantin yang menghadap lapangan serba guna. Benar-benar lapangan serba guna karena bisa jadi lapangan basket, lapangan volley, lapangan bola, dan tempat latihan taekwondo juga Merpati Putih.


Menuruni anak tangga dari gedung II-2, sampailah ke gedung IV. Di gedung inipun ada dinding bata yang lagi-lagi menjadi tempat terfavorit kita semua. Di ujung gedung ini yang dekat dengan lapangan serba guna ada toilet perempuan dan di atasnya terletak mushola perempuan. Bayangan mushola yang adem waktu itu hanyalah mitos. Karena mushola perempuan di sini panas. Langit-langitnya rendah. Meski tidak nyaman, mushola ini sering jadi tempat istirahat ku sambil menunggu kuliah selanjutnya.


Menyusuri lapangan kita akan mendapati gedung V-2. Perlu naik tangga untuk mencapai gedung yang luasnya seperti gedung II-2. Aku ingat waktu ujian penerimaan MABA di gedung ini. Kuliah pertama Agama Islam dan MPK juga di gedung ini. Di bawahnya ada ruang-ruang kuliah lebih kecil. Biasanya, ruangan kelas ini untuk ujian atau sidang skripsi, dan sidang skripsi ku pun di sini.
Turun lagi, kita akan melihat gedung perpustakaan. Teras di sekeliling gedung perpustakaan ini jadi tempat ternyaman untuk kerja kelompok. Ubinnya adem dan kita bisa gogoleran.



Paling pojok setelah gedung V-2 ada gedung yang dikenal dengan nama arthaloka. Entah apa maksudnya, apakah ingin seperti gedung Arthaloka di Sudirman atau apa, sampai sekarang ga paham. Yang jelas, ini gedung tempat ngumpul dosen-dosen pembimbing skripsi. Kita selalu menyebut bimbingan di arthaloka. Aku ke gedung ini untuk bimbingan skripsi dengan Bang Fauzi. Namun, di tengah proses bimbingan skripsi, terjadi kasus “rektor”. Dosen pembimbingku pun diganti dengan Bang Jamil.
Selain gedung-gedung tersebut, ada juga laboratorium fotografi. Dark room alias kamar gelap yang membuat merinding, karena benar-benar gelap dan dingin karena ber-AC.



37 tahun kemudian… apakah gedung gedung tersebut masih ada…? Kita tunggu saja
Titik Mustikayani