Sebuah Perjalanan Sunyi Wisnu, Dari Anak Band dan Sutradara Film Iklan Menjadi Seorang Pendakwah

Wisnu L.Widarto alumni IISIP’87 berkisah tentang kiprahnya dari seorang anak band (musisi) dan sutradara film iklan lalu bertransformasi menjadi pendakwah.

Tutur bahasa Wisnu yang lembut memang nyaman masuk ke telinga para pendengarnya. Jadi pas untuk seorang pendakwah yang tidak harus “meledak-ledak” ketika berdakwah.

Inilah kisah perjalanan Wisnu yang bertransformasi dari anak band menjadi ustadz.

Saat awal masuk kuliah di IISIP Jakarta aku tergabung dalam Kelompok 3. Tak butuh waktu lama hingga kelompok kami dikenal berkat penampilan musik di acara kampus Minggu pagi saat itu.

Kami membentuk vocal grup yang menyatukan suara dan harmoni dengan anggota seperti Anto, Pandu alias Oweng, Iwan Ozol, Yana, Rahmat, Vally, Herry, Venty, Diah, Rini dan Rita. Dari sini aku mulai merasakan kebahagiaan bermusik bersama teman-teman yang berbakat dan saling melengkapi.  

Selain vocal grup, ada juga kesempatan untuk bergabung dengan teman-teman lain, seperti Ipung saat kami membawakan lagu-lagu The Bee Gees dan Dudi Hartawan dalam alunan musik jazz.

Bersama Aden Barlian, Rusdy Rani, dan Mumu Munajat, kami membentuk sebuah band dengan  vocalis Wiwin ”Widuri” Estiana, Ari Jambrong, dan Besty Simatupang untuk mengikuti  festival di Hotel Kemang. Rusdy, Mumu, dan Besty angkatan 88 di IISIP.

Kami tampil dengan semangat membara meskipun belum berhasil meraih kemenangan di festival itu. Tetapi pengalaman tampil di depan juri-juri hebat seperti Erwin Gutawa, Addie MS dan Bens Leo adalah pencapaian tersendiri yang tak ternilai.

Tahun Yang Penuh Warna

Tahun 1989 menjadi tahun penuh warna. Aku diajak oleh Iwan Buche, Ambong Yacobus, Iboy Risnandar dan Aden Barlian untuk tampil di acara musik di Wisma Dharmala. Meski teman-teman bermain bagus, sayangnya, aku merasa kurang optimal karena keterbatasan pada keyboard yang sudah diprogram oleh keyboardist lain. Moment itu mengajarkan aku tentang pentingnya fleksibilitas dalam bermusik.

Pengalaman tersebut justru  memperkuat langkahku. Lagi-lagi bersama Aden, Iboy serta Daniel Iman (angkatan 86) kami  berkesempatan mengisi panggung Friday Jazz Night di Pasar Seni Ancol yang menjadi ajang pembuktian diri dalam genre jazz yang aku kagumi.

Aktif Di Padus Kampus

Tak hanya bermusik dalam band, aku juga aktif di Kelompok Paduan Suara (Padus) Kampus, bahkan dipercaya menjadi Ketua Padus dari tahun 1988 hingga 1990. Aku dibantu Aden dan Bambang Damayanto saat menjadi Ketua Padus. Bersama Wiwin Estiana sebagai konduktor dan Wiena Windari sebagai pianist, kami menjalani berbagai pertunjukan yang mengesankan.

Padus yang beranggotakan antara lain Eko Suprihatno, Ari Jambrong, Meniek, Rusmalia, Ayi, Tuti dan lainnya dalam setiap penampilannya menjadi kenangan tak terlupakan.  

Pengalaman Luar Biasa Tampil Bersama Musisi Terkenal

Setelah lulus kuliah, dunia musik tetap memanggilku. Sambil bekerja sebagai Junior Art Direcctor di Hotline Adv, bersama Tya dan Dion Subiakto kami mendirikan sebuah band yang kemudian dikenal sebagai TNT Explosion Band.

Band yang membawa kami tampil di berbagai acara bergengsi seperti Elfa’s Music Concert Home di Bandung, ARH Jam’s Session di Jamz Cafe hingga Jak Jazz.

Pada  masa-masa itu kesempatan bisa ber-jam session bersama tokoh-tokoh musik jazz seperti Idang Rasjidi, Benny Likumahua, Dewa Budjana, Rizha Arsyad hingga Ireng Maulana adalah sesuatu yang luar biasa.

Lepas  tahun 2000 aku melangkah ke dunia iklan sebagai TVC Director atau sutradara film iklan. Setelah magang bertahun-tahun menjadi Unit, Props Buyer, Props Master, Art Director hingga Director Assistant.

Aku mengerjakan iklan TV untuk berbagai produk seperti Indomie, McD, CFC, Extra Joss, Sarimie, Kopiko, Kopi Torabika, Ovaltine, Hommyped, Pertamina, Mitsubishi, Bank Sumsel dan lain-lain.

Selain itu juga sempat mengerjakan beberapa TV Program antara lain Beautiful Moment (tayang di AN TV), dan Warung Asri serta Teras Parlemen (tayang di TVRI dan LaTivi)

Titik Balik Perjalanan Hidup

Namun di tengah kesibukan ini muncul kegelisahan dalam hatiku. Dunia iklan yang penuh keriuhan ternyata justru membuatku merasa sunyi. Bahkan kesehatanku terganggu. Telapak kakiku dipenuhi bisul yang membuat setiap langkah terasa seperti berjalan di atas api.

Di tengah persiapan pembuatan film pendek untuk Mitsubishi Truck Colt Diesel, pemikiran tentang makna hidup mulai menghantui.

Perlahan-lahan aku mulai berpikir ulang tentang lagkahku selama ini. Meski aku tidak pernah meninggalkan sholat, godaan dunia seringkali menjauhkan ku dari ketenangan batin.

Konflik pekerjaan, perselisihan kepentingan, bahkan godaan materi yang datang dari praktik-praktik yang meragukan, membuatku bertanya,  “Apakah ini jalan yang benar untukku?”

Qadarullah, ketika pandemi Covid C-19 melanda, Production House tempatku bernaung terguncang dan akhirnya bubar. Rekan kerjaku yang juga Dirut di tempat itu sebelum pandemi, sering mengadakan halaqah kajian dan diskusi kecil tentang agama hingga menjelang wafatnya.

Disinilah aku menemukan titik balik perjalanan hidupku.

Setelah bertahun-tahun jauh dari agama aku merasakan panggilan kuat untuk kembali ke jalanNya.

Meskipun bukan hal baru, karena dulu pernah belajar agama di Pesantren Islam Al Azhar sejak tahun 1979 sampai tahun 1984. Lalu selama tiga tahun  sempat beberapa kali belajar dan mengikuti kajian dari Buya Hamka di Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran baru.

Ketika remaja juga sempat bergabung dengan kelompok pengajian Arisk (Arena Remaja Islam Setiabudi Karet) bersama para senior seperti Adhyaksa Dault, MS Kaban, Sofyan Djalil (mereka semua pernah menjadi menteri RI) dan KH. Wahfiudin Sakam serta tokoh-tokoh lainnya.

Dan Alhamdulillah dengan bekal itulah sekarang aku mempunyai jadwal cukup padat dalam mengajarkan Al Quran dan memberikan kajian.

Ada beberapa majelis yang aku bina yaitu Majelis Minhajjul Mukhlisin, Majelis pengajian At Taqwa, dan halaqah-halaqah tahsin tilawah.

Selain itu ada murid-murid yang khusus datang belajar ke rumah untuk belajar kitab-kitab seperti Al Hikam Ibnu Athaillah, Fawaidul Fawaid Ibnu Qayyim dan lain-lain.

Atas izin Allah kini aku menjadi seorang pendakwah. Setiap kelas dan halaqah membawa ketenangan dan rasa syukur yang tak bisa kutemukan di panggung atau di balik layar.

Aku berharap Allah senantiasa meridhoi jalan yang kutempuh sekarang, termasuk proyek buku “Bekal Pulang” yang sedang aku kerjakan.  Aku mohon agar Dia senantiasa membimbing dan menguatkan hingga akhir hayat nanti mengiringi setiap langkahku dalam CahayaNya.

Wisnu L.Widarto

(foto-foto : koleksi pribadi)

Leave a Comment